Selasa, 06 Oktober 2015

semarang: pemilik landmark unik



Enam Oktober…
Semoga senantiasa diberikan kesehatan, berkah dan nikmat tiada tara dari Sang Pencipta. Aamiin :)

Masih bertemakan cerita perjalanan. Setelah di dua tulisan sebelumnya saya menulis tentang romantisnya kota Melaka dan serunya sailing trip di Nusa Tenggara yang banyak memberikan inspirasi, kali ini saya memilih untuk bercerita pengalaman saya di salah satu kota besar di Pulau Jawa. Sebuah kota yang dikenal dengan kuliner khasnya seperti lunpia, wingko babat dan juga bandeng prestonya. Menurut saya, ibu kota propinsi Jawa Tengah ini merupakan salah satu kota yang menawarkan banyak sekali landmark unik. Penasaran landmark apa saja yang ada di Semarang? Saya akan sedikit bercerita. Satu... Dua... Tiga...

*   *   *

Pertama kali saya menginjakkan kaki di kota Semarang adalah ketika liburan kuliah semester I di tahun 2006. Saat itu saya diajak oleh seorang teman yang berkampung halaman di Semarang. Prasetyawan namanya. Kami menggunakan motor dari Jogjakarta setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam melewati kota-kota seperti Magelang, Secang, Ambarawa dan Ungaran. Sungguh sebuah kenangan yang masih bisa saya ingat karena suasananya syahdu diguyur hujan. #halah.

Karena hanya sekedar ingin tahu saja, pada kesempatan tersebut saya tidak kemana-mana. Hanya di rumah teman seharian, dan sempat menjelang senja saya diajak ke Pelabuhan Tanjung Emas. Mungkin karena faktor senja dan matahari yang indahlah yang membuat pelabuhan tersebut bagi saya begitu mengesankan (saat itu). Malamnya saya membeli oleh-oleh wingko babat di sekitar Pandanaran, dan esok paginya selepas subuh pulang ke Bandung menggunakan bus. Sebuah cerita singkat sebagai awal perkenalan dengan kota ini.

Ternyata Semarang memanggil saya kembali 2 tahun setelah itu. Tepatnya ketika liburan semester VI yang bertepatan dengan saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Semarang mengundang saya untuk mau bercengkrama lebih lama lagi ketika saya berkesempatan menjadi salah satu delegasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam acara Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional atau yang lebih akrab disebut PIMNAS ke XXI di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang.

Tentu saja agenda utama dari kegiatan tersebut adalah berupa perlombaan. Walau saya bukan terpilih sebagai presenter, hanya penyaji poster tapi rasanya itu lebih dari cukup. Banyak sekali inspirasi dan ide-ide program kreativitas mahasiswa yang akhirnya saya dapatkan dari acara tersebut.

Satu hari waktu bebas yang diberikan tidaklah disia-siakan oleh para delegasi. Kami menyambut gembira dengan berkunjung ke Kota Tua dimana terdapat sebuah landmark kebanggan Semarang bernama Gereja Blenduk. Kemudian dilanjut dengan wisata sejarah yang cukup angker di Lawang Sewu yang juga landmark dengan arsitektur ciamik di pusat kota Semarang. Mengapa saya katakan angker? Karena aura gedung tersebut memang terkesan agak kelam. Belum lagi saya memberanikan diri bersama segelintir teman yang lain, dengan sukarela mendaftarkan diri dan membayar sejumlah uang untuk turun ke ruangan bawah tanah dengan bersenjatakan senter dan sepatu boot. Hhhmmm, mau ngapain ya?

kiri: salah satu gedung di kawasan kota tua; kanan: depan lawang sewu 2008

Kami bersepuluh dipandu oleh seorang tour guide yang menceritakan sudut-sudut angker ruangan tersebut. Dalam kondisi becek dan pekat, kami masih sempat melihat apa yang kemudian disebut penjara duduk dan penjara berdiri yang luasnya kurang dari 1 meter persegi, tetapi untuk ditinggali 4-6 orang. Bisa dibayangkan bukan? Sesak dan tak bisa leluasa hanya menunggu tiket kematian datang. Sungguh membuat saya merasa bahwa banyak manusia yang tidak dimanusiakan. Ini sebab saya mengatakan bahwa Lawang Sewu memang berasosiasi pada sebuah kata "angker".

Selesai dari Lawang Sewu, rombongan kemudian menunaikan sholat jum’at di Masjid Agung Jawa Tengah. Biarlah suasana angker berganti dengan kedamaian. Landmark satu ini sungguh bernilai estetika tinggi yang memadukan gaya arsitektur jawa, islam dan romawi. Yang unik dari masjid ini adalah adanya 6 buah payung elektrik yang mirip dengan Masjid Nabawi. Selain itu, dari gardu pandang di sebuah menara lantai 19, kami bisa melihat keindahan kota Semarang dari ketinggian. Sungguh pengalaman berharga. Wajib banget untuk datang ke tempat ini kalau berkunjung ke Semarang ya, kawan-kawan :)

Singkat cerita, acara PIMNAS berakhir sudah. UGM dinobatkan sebagai Juara II di bawah Universitas Brawijaya Malang yang berhasil memeperoleh medali emas terbanyak. Walaupun UGM saat itu tidak berhasil menyabet gelar juara untuk ketiga kalinya, tapi bagi saya pribadi Semarang telah memberikan banyak ide menarik melalui PIMNAS-nya. Terima kasih :)

Semua memori berkesan tersebut ditorehkan dalam jejak-jejak saya sebagai mahasiswa. Sebagian masih teringat karena terdokumentasikan dalam foto. Sebagian lagi teringat di memori otak. Sebetulnya saya sudah cukup puas menjamah Semarang karena landmark tersohornya sudah saya kunjungi. Namun, takdir justru mempertemukan saya kembali dengan Semarang. Dan saat tersebut, saya sudah bukan lagi seorang mahasiswa.

Tepatnya Mei 2014, artinya 6 tahun setelah kunjungan kedua, saya kembali menyambangi Semarang. Kali ini adalah acara gathering bersama teman kantor. Berangkat pagi dari stasiun Pasar Senen dengan Kereta Api Tawang Jaya kelas ekonomi, saya dibuat kagum sekagum-kagumnya. Walau kelas ekonomi, tetapi kereta ini berangkat dan tiba di tujuan pada waktu yang sangat luar biasa tepat. Tidak kekurangan atau kelebihan 1 menit pun. Proficiat untuk PT. Kereta Api Indonesia yang sudah melakukan banyak sekali perbaikan.

Tiba di stasiun Semarang Poncol, kami sudah ditunggu oleh angkutan kota (angkot) yang sudah saya hubungi sebelumnya untuk disewa hingga nanti malam. Angkot inilah yang akan menghantarkan kami berkeliling Semarang untuk mengagumi beberapa landmark unggulan dan juga kulinernya.

Berhubung waktu sudah siang dan bertepatan dengan jam makan siang, kami diantar menuju kuliner khas, yaitu Tahu Gimbal Pak John yang cukup terkenal dan berlokasi di daerah Sendowo. Rasanya enak, cara buatnya pun menarik, dan yang pasti harganya sangat terjangkau. Kalau tidak salah Rp11.000 saja per porsi.

tahu gimbal pak john

Dari situ, kami kemudian malanjutkan perjalanan ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk sholat dzuhur dan ashar. Nampaknya landmark yang satu ini tidak perlu dibahas lagi karena sudah diceritakan pada kunjungan saya sebelumnya. Hehehe.

masjid kebanggan semarang yang begitu artistik dan memukau

Kemudian kami bersepakat untuk mengunjungi sebuah kelenteng peninggalan Laksamana Cheng Ho. Namanya Sam Poo Kong yang beralamat di Jl. Simongan Raya No.129. Hari sudah agak sore tetapi cuaca Semarang belum mau berdamai. Panas! Kami semua melihat-lihat dan berfoto di area kelenteng ini. Menarik sekali dan mendapatkan pelajaran sejarah tentang bagaimana pelayaran negeri tirai bambu masa lalu yang sampai di nusantara.

sam poo kong: sebuah peninggalan seorang laksamana dari negeri tirai bambu

Dari Sam Poo Kong, angkot dengan gagahnya melesat menuju Lawang Sewu. Sempat terkaget karena landmark andalan Semarang yang juga merupakan bekas kantor kereta api zaman dulu ini sudah mempercantik dirinya. Dinding bangunan sudah dicat dengan aksen warna yang lebih segar. Kesan kusam kini tak lagi kentara. Berada di Lawang Sewu saat itu seperti tengah berada di Belanda (padahal belum pernah ke Belanda. Hehehe). 6 tahun tidak bertemu ternyata telah mengubah Lawang Sewu menjadi lebih amboi.

Langit sudah berganti senja. Secara jujur saya mengatakan bahwa senja di tempat ini sungguh merupakan sebuah suasana yang romantis. Kesan angker yang identik dengan Lawang Sewu justru lebih saya rasakan ketika di kunjungan sebelumnya yang padahal hari masih siang. Mungkin karena sekarang Lawang Sewu lebih ramai, bahkan hingga sore pun masih banyak pengunjung yang datang. Kami mengunjungi beberapa ruang tempat koleksi gambar-gambar perkeretaapian zaman dulu. Di satu sudut, kami melihat seniman yang melukis dengan hebat mambuat Lawang Sewu menjadi lebih menarik.

lawang sewu kala senja di tahun 2014. berbeda sekali dengan 2008 bukan?

Hingga akhirnya maghrib pun tiba. Kami sholat di sebuah masjid dekat Lawang Sewu dan setelahnya lanjut ke Kawasan Simpang Lima untuk mancari makan dan menghabiskan malam di sana dengan menyewa sepeda untuk berkeliling mengitari Simpang Lima. Keceriaan malam dan juga tawa masih terlihat di muka teman-teman. Malam di kawasan tersebut semakin meriah karena dipenuhi dengan lampu-lampu kota dan juga fluorescence yang berkelap-kelip. 

aktivitas malam di simpang lima: makan dan bersepeda ditemani kerlip lampu

Kami menghabiskan waktu dan berpisah dengan pengemudi angkot yang telah berjasa membantu kami menitipkan jejak petualangan selama 8 jam di Semarang. Sekitar pukul 21:30 WIB, dua orang anggota team sebuah Event Organizer (EO) menjemput kami. Semarang harus kami tinggalkan sementara. Dataran Tinggi Dieng telah menunggu sebagai tempat gathering kami yang utama. Tapi tenang… Dua hari lagi, kami kembali ke Semarang untuk transit sejenak ke Stasiun Semarang Tawang.

Dan benar, dua hari kemudian setelah kepulangan kami dari Dieng, kami bertemu kembali dengan Semarang. Waktu teramat pagi ketika kami sampai di Stasiun Semarang Tawang, yaitu sekitar pukul 03:00 WIB. Sembari menunggu kereta pagi pukul 06:00, saya berjalan sendirian menuju kawasan Kota Tua. Agak horor karena jalanan begitu sepi, tapi saya pikir ini adalah pengalaman antimainstream yang butuh keberanian. Akhirnya saya terus melangkahkan kaki dengan hanya mengikuti firasat. Sampai di Gereja Blenduk, saya berkreasi sendiri jeprat-jepret di kawasan ini hingga akhirnya adzan subuh mengantarkan saya kembali ke stasiun untuk kemudian menunggu kereta yang akan membawa kami kembali ke Jakarta. Argo Sindoro!

berkreasi sendiri di kawasan kota tua yang kaya akan landmark gaya kolonial

Terima kasih, Semarang! Mungkin akan ada pertemuan keempat denganmu. Nanti! Dan jika itu terjadi, masihkan landmark-landmark andalanmu ramah menyapa? Hopefully!

*   *   *

Sampai Jumpa di perjalanan yang lain! \^^/
Terima kasih ya sudah mau membaca...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar